GEMAR BACA

DREAM, BELIEVE, and MAKE IT HAPPEN!

Sabtu, 09 September 2017

Yohanes, Putra Zebedeus

Syalom, sebelumnya saya ingin mengucap terimakasih untuk Kak Arasy karena telah membuat saya kembali mengisi ruang kosong di blog ini Kali ini saya akan membawa materi mengenai Yohanes, putra Zebedeus atau yang kerap disebut Rasul Yohanes, salah seorang dari 12 murid Tuhan Yesus. Bila ada salah saya ingin memohon maaf dan terbuka menerima kritik dan koreksi. Terimakasih. 



Yohanes (bahasa Yunani Ιωάννης - Ioannes; "Tuhan adalah baik/pemurah"), adalah salah satu dari keduabelas rasul Yesus Kristus. Ia adalah putra dari Zebedeus. Ibunya diyakini bernama Salome. Yohanes adalah saudara dari rasulYakobus yang juga termasuk keduabelas rasul. Dalam Injil, Yohanes dan Yakobus disebut Boanerges yang berarti "anak-anak guruh". Tradisi mempercayai dia adalah penulis dari beberapa buku dalam AlkitabInjil Yohanes, tiga surat (Surat 1 YohanesSurat 2 YohanesSurat 3 Yohanes) dan Wahyu kepada Yohanes.



Pada awal kehidupannya dia adalah penjala ikan (Mrk. 1:17–20). Dia mungkin murid Yohanes Pembaptis yang tidak disebutkan namanya yang disebut-sebut dalam Yoh. 1:40. Belakangan dia menerima panggilan sebagai murid Yesus Kristus (Mat. 4:21–22; Luk. 5:1–11). Dia menulis Injil Yohanes, tiga pucuk surat, dan kitab Wahyu. Dia adalah satu dari tiga orang yang berada bersama Tuhan pada saat dihidupkannya kembali putri Yairus (Mrk. 5:35–42), di Gunung Perubahan Rupa (Mat. 17:1–9), dan di Getsemani (Mat. 26:36–46). Dalam tulisan-tulisannya sendiri dia merujuk dirinya sebagai murid yang Yesus kasihi (Yoh. 13:23; 21:20) dan sebagai “murid yang lain” (Yoh. 20:2–8). Yesus juga menamainya dan saudara laki-lakinya Boanerges, “anak-anak guruh” (Mrk. 3:17). Ada rujukan-rujukan yang kerap mengarah kepadanya dalam laporan tentang penyaliban dan kebangkitan (Luk. 22:8; Yoh. 18:15; 19:26–27; 20:2–8; 21:1–2). Yohanes belakangan dibuang ke Patmos, di mana dia menulis kitab Wahyu (Why. 1:9).
Yohanes kerap kali disebut-sebut dalam wahyu zaman akhir (1 Ne. 14:18–273 Ne. 28:6Eter 4:16A&P 727:1261:147788:141). Petikan-petikan ini mengukuhkan catatan Alkitab tentang Yohanes dan juga menyediakan wawasan akan kebesarannya serta pentingnya pekerjaan yang telah Tuhan berikan untuk dilakukannya di atas bumi pada zaman Perjanjian Baru dan pada zaman terakhir. Tulisan suci zaman akhir mengklarifikasi bahwa Yohanes tidak mati tetapi diperkenankan untuk tetap tinggal di atas bumi sebagai hamba yang melayani sampai waktu kedatangan kedua Tuhan (Yoh. 21:20–23; 3 Ne. 28:6–7A&P 7).
Masa tua YohanesYohanes digoreng di dalam bak minyak mendidih di Roma, tetapi karena Tuhan masih ingin memakai Yohanes lebih lanjut, maka keajaiban terjadi sehingga walaupun ia telah di goreng hidup-hidup, ia masih bisa hidup terus. Tetapi akhirnya ia dibuang dah diasingkan ke pulau Patmos untuk kerja paksa di tambang batubara. Pada saat ia berada di sana, ia mendapatkan wahyu dari Allah sehingga ia bisa menulis kitab Wahyu. Kemudian ia dibebaskan dan akhirnya kembali menjadi uskup di Edessa (sekarang di wilayah Turki). Ia adalah satu-satunya Rasul yang mencapai usia lanjut dan meninggal dengan tenang


Surat-Surat Yohanes

Walaupun penulis dari tiga pucuk surat ini tidak menyebut dirinya dengan nama, bahasanya demikian kuatnya menyerupai yang dari Yohanes sang Rasul sehingga dia dianggap telah menulis ketiganya.
1 Yohanes 1 memberikan petuah kepada para Orang Suci untuk mendapatkan pertemanan dengan Allah. Pasal 2 menekankan bahwa para Orang Suci mengenal Allah melalui kepatuhan dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk tidak mengasihi dunia. Pasal 3 memanggil semua untuk menjadi anak-anak Allah dan untuk saling mengasihi. Pasal 4 menjelaskan bahwa Allah adalah kasih dan berdiam dalam diri mereka yang mengasihi-Nya. Pasal 5 menjelaskan bahwa para Orang Suci dilahirkan dari Allah melalui kepercayaan kepada Kristus.
2 Yohanes serupa dengan 1 Yohanes. Di dalamnya Yohanes bersukacita karena kesetiaan dari anak-anak “Ibu yang terpilih.”
3 Yohanes memuji seseorang yang bernama Gayus karena kesetiaan dan pertolongannya kepada mereka yang mengasihi kebenaran.

Artikel dikutip dari berbagai sumber.
Mohon maaf kalau salah.


Minggu, 19 Juni 2016

Pecinta Sastra : Berganti Hari

Pecinta Sastra : Berganti Hari: Debum jatuh memekak telinga Ah, apakah gerangan berbunyi? Aku lupa, itu hatiku Yang berbalur darah terjatuh padamu Sudut kota masih dia...

GILA



GILA
Langit malam ini  kelam temaram
Suram tanpa bintang yang berpiijar
Awan pekat begitu hitam
Gelap tanpa ada cahaya berpendar
Seperti diriku yang muram
Tak ada senyum yang kutebar

Menangislah, menangislah katamu
Tidakkah kau tahu aku terlalu lelah untuk berurai air mata?
Aku sendirian, lalu hilang akal untuk sementara
Dan kau masih menyalahkan diriku yang gila
Kau masih bisa menuntutku sempurna
Aku tertawa, menangis, meracau di saat yang sama
Aku gila, aku gila, aku gila, katamu!
Aku gila karena tak bersuara saat kau tanya
Dan kau masih marah karena aku gila?

Ya, aku gila!
Aku gila sampai kau puas!
Aku gila, lalu menangis meringkuk saat malam tiba
Aku gila sampai kau puas!
Aku gila, lalu makan apa pun yang ada
Aku gila sampai kau puas!

Aku gila, aku gila, aku gila...
Aku gila sampai kau puas!

Berganti Hari

Debum jatuh memekak telinga
Ah, apakah gerangan berbunyi?
Aku lupa, itu hatiku
Yang berbalur darah terjatuh padamu

Sudut kota masih diam membisu
Lupa pada renta yang menyesaki jiwa
Senja yang menua dibalik awan jingga
Pun diam, menyaksikan aku jatuh kesekian kali

Sudah sewindu tak berjumpa
Rindu itu nyata merongrong rongga dada
Kau hanya bertatapkan hampa; sedangkan aku luput dari doa, tapi cinta harusnya belum usai meski kenangan telah sirna ditelan waktu

Sang waktu yang jahat, membunuh asa yang terjalin nyaris seabad
dan aku?
Masih bodoh bertahan, berpegang pada corak hitam malam yang bergelantungan pada langit desa
Sedang malaikat hanya bisu dalam keremangan pagi yang malu-malu bersembunyi dari pucuk daun
Tuhan pun tahu, kemarin sudah usai
dan hari ini, kau tiada lagi di bumi

Kamis, 09 Juni 2016

Pecinta Sastra : CERBUNG (FALL TOO FAR) PROLOGUE

Pecinta Sastra : CERBUNG (FALL TOO FAR) PROLOGUE: BERTEMU PADA SATU TITIK Langit membiru dengan cerah. Biru turun dari taxi online yang ditumpanginya setelah membayar tarif dengan bant...

CERBUNG (FALL TOO FAR) PROLOGUE

BERTEMU PADA SATU TITIK

Langit membiru dengan cerah. Biru turun dari taxi online yang ditumpanginya setelah membayar tarif dengan bantuan supirnya. Setelah turun dan sang supir kembali melajukan mobilnya, Biru menghela napas lega. Ia akhirnya berada di depan gerbang raksasa bermotif sulur-suluran yang tampak kokoh dan megah. Kini, ia akhirnya ingat siapa itu Samuel Wardhana, seorang direktur kantor konsultan pajak yang pernah bermitra dengannya, ketika ia akan mengurus perizinan dan administrasi pajak usaha yang dirintisnya, mungkin enam atau tujuh tahun yang lalu.
Tampaknya satpam penjaga rumah itu sudah diberitahu akan kedatangannya oleh Samuel. Maka begitu melihat seorang pria berkursi roda ‘nangkring’ di hadapan gerbang, pria tambun berkumis tebal itu langsung tergesa membukakan gerbang sebagai akses untuk masuk ke dalam ‘istana’ Samuel Wardhana.
Saptono—nama pria itu, yang tertera pada bordiran di dada sebelah kanannya—tampak begitu ramah dan hangat. Senyum ceria selalu tercipta dibalik kumis hitamnya. Biru mengamatinya dalam diam, seikit-sedikit mencuri pandang. Kesan pertama saat ia masuk ke dalam rumah itu adalah luas dan mewah. Lampu gantung yang terjulur dari bilik atap rumah itu ditafsir Biru seharga dengan sebuah mobil Avanza. Begitu juga dengan interior yang didominasi wana broken white. Biru mengamati lingkungan barunya dengan perasaan terkagum. Semewah-mewah rumahnya, rumah milik Samuel berkali lipat lebih mewah dan luas. Di sisi depan, terdapat jendela raksasa yang separuhnya berisi lukisan di atas kaca, sedangkan separuhnya lagi tertutupi tirai sutra berwarna hitam dengan sedikit ornamen satin yang tampak seperti perak memantulkan cahaya. Di sisi lain, sofa berukuran jumbo berwarna gold terasa begitu empuk dan hangat, diletakkan pas menghadap TV LED berukuran 60 inch. Dalam hati Biru merutuki dirinya, yang dahulu begitu angkuh dengan segala kepunyaanya, kini Tuhan telah menamparnya dengan menunjukan kebenaran dari peribahasa ‘di atas langit masih ada langit.’
Tunggu, Tuhan?! Siapakah Tuhan itu? Bukankah Biru sendiri sudah lupa siapa Tuhannya dan kapan terakhir kali ia keep in touch denganNya. Biru lupa apakah dahulu ia pernah membutuhkan Tuhan, pernah menyatakan kehadiran Tuhan. Kini, pikiran muram merambati kepalanya. Merongrong dan mencambuk nuraninya yang dahulu dirasanya telah mati. Sebenarnya, seberapa jahat dan jauh dirinya dari Tuhan?
Sekonyong-konyong kemuraman melanda pikirannya, tepukan sedikit keras di bahunya menyentaknya kuat. Perlahan, kesadarannya pulih. Dan terfokus kembali kepada tujuan utamnya menyambangi kediaman Samuel Wardhana.
Biru memutar kursi rodanya, lalu mendapati pria bertubuh jangkung yang menatapnya ramah. Biru mengenali pria itu sebagai Samuel, melihat binar kejenakan dan kehangatan yang menyapanya. Teringat oleh Biru sikap buruknya saat menanggapi pria itu bicara, sungguh berbanding balik dengan apa yang pria itu perbuat kepadanya.
“Kau datang tepat waktu. Kalau begitu tunggulah di sini, saya akan panggilkan istri saya,” tanpa menunggu balasan dari sang lawan bicara, Samuel berlalu hingga hilang ditelan koridor yang terasa amat jauh saking luasnya rumah itu. Dalam diam, Biru kembali mengagumi interior dan tata ruang di sekitarnya. Sebuah sofa melengkung berbahan beludru berwarna hitam terletak di beranda rumah, yang berhadapan dengan hijaunya dedaunan dan warna-warni bunga di taman yang tampak luas. Sekali lagi Tuhan ‘menamparnya’.
Beberapa saat kemudian, Biru akhirnya menemukan Samuel dan istrinya. Istrinya bertubuh mungil, sangat kontras dengan tubuh Samuel yang jangkung. Mereka tampak serasi bersama. Wanita itu—yang ditafsir Biru berusia akhir empat puluhan—memiliki raut wajah yang lembut dan ayu. Ujung matanya yang sipit itu sedikit melengkung, sehingga tampak sedang tersenyum meskipun saat wajahnya datar. Hidungnya bangir dan bibirnya mungil padat. Wanita itu berambut lurus sebahu berwarna hitam, namun Biru melihat sedikit uban di sela-sela hitam rambutnya. Secara keseluruhan, wanita itu cantik. Biru jadi membayangkan akan secantik apa si Jingga-jingga itu. Sebab dilihat dari perawakan kedua orangtuanya, gadis itu berasal dari bibit mumpuni.
Wanita itu menyalami Biru dan memperkenalkan diri bernama Sarah. Sungguh nama yang pas dengan penampilannya. Menambah nilai keserasian antara Sarah dan Samuel, sama-sama diawali dengan suku kata ‘sa’.
“Begini lho, Biru... Anak perempuan kami itu manja dan keras, juga sedikit egois. Jadi, kami harap Anda yang akan menyesuaikan jadwal dengan kemauan Jingga. Maklum, Jingga anak kami satu-satunya, lalu kami juga susah dapetnya, makanya dimanja berlebihan. Maaf, tapi Anda kan sudah emmm...., pengangguran, kami pikir hal itu tak menjadi masalah buat Anda.” Setelah berbasa-basi tidak penting, akhirnya pembicaraan mereka menyentuh topik utama.
Biru mengenyit. Menciptakan kerutan dalam di dahinya. Alis tebalnya terlihat nyaris menyatu, menambah kesan ‘laki’ dalam dirinya. Lama ia menimbang-nimbang, sebab dahulu ia biasa kerja sistematis, “Jika begitu, saya ingin dibayar tiap pertemuan,”tandasnya.
Kedua orangtua di hadapannya tampak lega. Mereka—yang sepertinya memiliki kebun uang itu—tentulah tidak akan keberatan soal nominal. Biru menyebutkan sejumlah nominal yang cukup besar—sedikit berlebihan malah untuk ukuran privat piano—dan langsung disetujui tanpa pikir panjang. Beberapa saat di sana, mereka hanya membahas segala kabar hangat terbaru yang sebenarnya tidak begitu menarik perhatian Biru. Namun, sekali lagi demi kesopanan, ia rela berpura-pura menyimak obrolan suami-istri di hadapannya.
Nyaris setengah jam ia bertahan dari bosan. Setelahnya, suara-suara tawa terdengar dari arah pintu masuk. Suara pintu kayu jati raksasa itu berderit, sedikit membuat ketiga orang itu tersentak. Lalu Samuel memberikan kode dengan tatapan‘harap maklum’ pada Biru, yang hanya dibalas senyum tipis. Tak berapa lama, suara melengking nan manja itu membelai lembut telinga Biru, “Mamiii!!! Daddy!!!! Kangen bangetttt. Kalian sibuk terus, Jingga kesepian di rumah! Jadinya aku nginep di rumah Lalita!” Biru sedikit terjengit mendengar nada yang begitu mendayu-dayu dan terkesan lebay. Gadis itu—yang menurut Biru adalah Jingga—bertubuh tinggi dan langsing. Wajahnya cantik, perpaduan antara Samuel dan Sarah. Lalu tanpa basa-basi gadis itu menyeruak ke dalam pelukan ayahnya. Teman perempuan gadis itu tampak kalem berdiri di sebelah gadis itu setelah menyalami dirinya dan Sarah. “Daddy, who is he? Kenapa dia cacat?!”
Tersentak, Biru melotot pada gadis manja itu. Gadis itu mendelik padanya. Lalu tepukan keras mendarat di bahu terbuka gadis itu, tepukan dari Samuel, “Don’t you tell something hurt! Please, sorry to him! Dia itu udah Daddy sewa buat ngajarin kamu piano. He’s one of the Indonesia’s best pianist. Biru Samudra, don’t you know that?”
Gadis itu melotot, mata sipitnya berusaha sebisa mungkin mencapai lebar maksimal. Di belakang gadis itu, Sarah tersenyum simetris lalu mengungkapkan maaf dengan gerakan bibir dan tanpa suara.
 “WHAT?! Daddy, i udah bilang gak mau les piano! Do you think i’m a playgroup student? Ahhh pokoknya i don’t want to do that! Apalagi gurunya cacat kayak gini,”
Terjengit Biru mendengarnya. Nada yang tadinya mendayu-dayu itu sirna, digantikan dengan angkara murka dan pelototan sadis gadis itu untuk ayahnya dan Biru. Telunjuk gadis itu teracung, mengarah tepat di depan batang hidung nan mancung Biru, seakan mengganggap Biru hanyalah upik abu yang tak layak mendapatkan penghargaan ssedikit pun.
Emosi yang begitu membuncah ditahan Biru sekeras mungkin. Ia tak ingin memberikan kesan buruk pada calon muridnya ini. Demi apa pun gue harus sabar! Gadis ini sumber duit gue nanti, ia membatin. Samuel menoleh ke arahnya, namun sebisa mungkin ia menampilkan senyum terbaiknya. Kini, Jingga sudah melayap entah ke mana, mungkin memang tabiatnya kurang ajar begitu.
Dehaman Samuel menyentaknya, mengembalikan kesadarannya sepenuhnya ke dunia nyata.
“Maafkan, Jingga. Dia anak kami satu-satunya, bahkan setelah delapan tahun kami berumah tangga. Jadi, kami memang begitu berlebihan memanjakannya. Salah kami, yang salah mendidiknya sejak dini,” suara lembut Sarah akhirnya memulai keheningan yang sempat tercipta sesaat setelah Jingga menghilang. Biru menatap wanita  itu dengan tatapan nanar, antara  ingin protes dan jaga image.
“Ya, dia memang begitu. Tapi ia mudah luluh, sebentar lagi saya akan bujuk supaya dia menerima,” Samuel menimpali ucapan Sarah. Dalam hati Biru merutuki nasib sial apa yang sedang di hadapinya. Ia benar-benar bingung. Di tengah krisis ekonomi yang sedang berusaha ia atasi, Tuhan memberi jawaban dengan tawaran menggiurkan sebagai guru piano bagi anak konglomerat di kotanya. Bayarannya banyak, meski tak sebanyak omset dari usahanya dahulu, namun baginya sudah jauh lebih dari cukup. Namun, ia ragu, melihat kesan pertama yang ditampilkan calon murid pianonya itu amat jauh dari kata sopan dan baik. Benar-benar tidak mencerminkan gadis berpendidikan dan bermartabat. Tipe wanita yang harus dijauhi sepanjang abad. Tipe wanita? Emangnya ada yang mau sama lo? Iblis dari sisi hatinya yang lain membatin, memukul telak dirinya, mengikis rasa percaya dirinya yang nyaris nihil. Lumpuh permanen yang dialaminya sejak lahir memang menjadi momok sekaligus hal paling disesali dalam hidupnya. Benar-benar membuatnya minder.


Biru memandang langit hitam kepekatan dari balkon kamarnya. Seorang diri. Terhanyut dalam sepi. Sejak kematian ayahnya beberapa tahun silam, kehampaan sudah menjadi sahabatnya, nyaris ‘kawin’ dengan dirinya. Tak ada yang bisa dirasakan Biru selain kesepian dan kehampaan. Dunia sepertinya berjalan hanya untu sebagaimana seharusnya. Bumi bukan lagi tempat yang indah dan bermakna, hanya sebuah latar dari suatu fase kehidupan, yang memiliki kontraknya tersendiri. Suatu saat akan mati, punah atau terlupakan. Persis seperti jalan cerita pada dinetron atau novel picisan. Manusia hanyalah wayang dari pewayangan yang diciptakan dan ditentukan hidup-matinya oleh Sang Dalang Yang Mahatau.
Kehampaan yang menyelimutinya itu tak lagi terbilang, atau pun terhitung. Satu demi satu impian dan cita-citanya hilang, terenggut bersama satu demi satu kepergian miliknya yang takkan kembali lagi. Gugur, tertelan kenyataan pahit yang bertubi-tubi dialaminya.
Biru dahulu hanyalah pria cacat biasa, namun penuh gelora dan gairah hidup. Biru yang dahulu hanyalah anak lelaki kebanggaan ayahnya, dengan segudang cita-cita juga untaian prestasi meski ia tak sama. Kehidupannya dahulu normal, meskipun ia cacat permanen, prestasinya dibidang akademik maupun seni bisa dibilang menyelamatkannya dalam banyak hal. Ia tak kekurangan teman, semua teman silih berganti menawarkan diiri menemaninya sekedar ke kantin atau mengantarnya pulang demi mendapat satu contekan tugas yang bisa diperjual-belikan pada teman-teman yang lain. Biru tak pernah memperasalahkan itu. Baginya, tidak di-bully saja sudah bagus. Wajahnya pun bisa dibilang  tampan, dengan wajah perpaduan ras Mongoloid keturunan ayahnya juga ras Kauskasia yang nyaris delapan puluh persen membentuk wajahnya, turunan dari wanita yang amit-amit dipanggilnya ibu. Wanita yang sudah sejak lama menanggalkan gelarnya itu dengan meninggalkan dirinya kecil tingga berdua dengan ayahnya, hanya karena alasan uang. Tapi ia bersyukur, setidaknya ia tidak mengalami sesuatu hal yang buruk sejak SD hingga lulus kuliah. Meskipun tak pernah atau sempat mengalami fase cinta monyet atau tikung-menikung dalam lika-liku masa-masa sekolahnya dahulu, ia bersyukur. Ia masih bisa diterima dengan baik di lingkungannya, seperti yang selalu ayahnya lakukan dan dengungkan kepadanya.
Alih-alih dahulu ia anak yang religius dan penuh semangat menjalani hidup, kematian ayahnya secara tragis dalam kecelakaan pesawat penerbangan menuju Bali untuk liburan dan jasadnya hilang entah di mana, juga terbongkarnya satu kenyaataan—banyak kenyataan, lebih tepatnya—ia tawar hati. Ia tinggalkan semua kebiasaannya, atau ritual dengan Sang MahaPunya, ia tanggalkan semua rasa percaya dan hormatnya pada Tuhan. Ia menarik diri dari segala kehidupan sosialnya, ia bukan lagi dirinya yang dahulu. Ia tak lagi tahu apa tujuannya hidup, tak lagi mengerti apa guna nyawanya. Hanya sesuatu yang hambar, tawar, hampa dan tanpa rasa yang dirasakannya.
Teman-temannya, yang jumlahnya tak seberapa itu, bahkan menjulukinya dua hal; atheis dan aseksual. Untuk julukan pertama, ia berusaha menyangkal hal tersebut. Sebab ia merasa bahwa julukan ‘atheis’ itu terlalu kejam. Ia menampik hal tersebut, sebab baginya, ia hanya sedang dalam fase tawar hati, penyanggahan dari kepahitan dan pelarian dari kesakitan. Suatu saat yang entah kapan, ia yakin ia akan kembali lagi menjadi dirinya yang dahulu. Untuk julukan kedua, ia sendiri tak bisa membenarkan ataupun menyalahkan. Ia pernah jatuh cinta, dahulu sekali, namun ia sadar diri. Sejak saat itu, hatinya tak pernah merasa hangat, hatinya membatu, tertutup dari segala bentuk rasa apa pun. Maka dari itu, ia disebut pengidap aseksual, tidak tertarik dalam bentuk hubungan perasaan maupun fisik pada jenis kelamin apa pun. Dan nyatanya memang nyaris begitu.
Lamunan Biru terusik kala bel rumahnya berbunyi. Bel tersebut memang terhubung langsung dengan kamarnya, sehingga memudahkannya untuk mengetahui ada orang yang datang. Dengan perlahan, Biru mengemudikan kursi rodanya menuju pintu utama rumah, yang jaraknya kira-kira enam meter dari muka pintu kamarnya.
Biru mendesah pelan, dalam hati bertanya-tanya siapakah gerangan yang bertamu pada malam hari. Ia juga sedikit tergesa, sebab sang tamu nampaknya sudah tak sabar dengan memencet bel rumah berulang kali, bahkan sudah mulai mengetok-ngetok pintu dengan sembrono dan ritme tidak teratur.
Ketika ia berhasil mencapai gagang pintu yang berwarna keperakan dengan bentuk elipsis itu, Biru mengintip sedikit celah dari jendela besar yang tertutup gorden raksasa. Namun, tak ada yang bisa dilihatnya selain jaket berwarna hitam yang membalut sang tamu tersebut. Sayangnya, Biru juga tak bisa mendapat bocoran apa pun tentang siapa si tamu ini, sebab sedari tadi tamu tersebut hanya mengetok pintu dan menekan bel berulang kali, tapi tak mengucapkan satu patah kata pun.
Dengan segera, Biru memutar kunci rumah dan meraih gagang pintunya. Matanya beralih menatap si tamu itu, lalu ia tertegun.

TBC





SAJAK PAGI

Diam
Ditelan kelam malam
Yang bersembunyi di balik senyummu

Hancur
Dilebur pilu menyesaki
Yang terletak dalam air mata

Sakit
Mati terbunuh angan
Yang berterbangan
Membumbung tinggi ke awan
Jatuh dan hancur di bumi